Kamis, 20 Oktober 2011

Menulis Puisi

 

Menulis puisi kadang menjadi beban terberat bagi seseorang. Hal ini karena anggapan bahwa puisi terlalu berat dari segi bahasa maupun penafsirannya. Oleh karena itulah, dalam pelajaran ini Anda akan berlatih menulis puisi. Agar puisi yang Anda tulis dapat mewakili ide serta gagasan Anda, sebaiknya ikuti terlebih dahulu teknik-teknik penulisannya. Dengan demikian, diharapkan Anda mampu menulis.
Secara umum, tidak ada paksaan bagi seseorang untuk menulis puisi. Setiap orang dapat menulis puisi. Masalahnya, mau atau tidak mau orang tersebut tergerak untuk menuliskan kata-kata yang mampu mewakili hatinya. Misalnya, jika Anda sedang sedih, jatuh cinta, kecewa, rindu pada Tuhan atau orang terkasih, semuanya dapat diekspresikan dalam bentuk puisi.
Selanjutnya, Anda harus sering berlatih untuk mengolah kata dan rasa. Hal ini secara perlahan dapat dilakukan dengan memahami teknik-teknik menulis puisi. Dalam pelajaran ini, Anda akan belajar memahami teknik-teknik tersebut dan mempraktikannya.
1.Mengenal Jenis-Jenis Puisi
Ditinjau dari bentuk dan isinya, puisi dapat dibedakan menjadi jenis berikut.
a.Puisi epik, yakni suatu puisi yang di dalamnya mengandung cerita kepahlawanan, baik kepahlawanan yang berhubungan dengan legenda, kepercayaan, maupun sejarah. Puisi epic dibedakan menjadi folk epic, yakni jika nilai akhir puisi itu untuk dinyanyikan, dan literary epic, yakni jika nilai akhir puisi itu untuk dibaca, dipahami, dan diresapi maknanya.
b.Puisi naratif, yakni puisi yang di dalamnya mengandung suatu cerita, menjadi pelaku, perwatakan, setting, maupun rangkaian peristiwa tertentu yang menjalin suatu cerita. Jenis puisi yang termasuk dalam jenis puisi naratif ini adalah balada yang dibedakan menjadi folk ballad dan literary ballad. Ini adalah ragam puisi yang berkisah tentang kehidupan manusia dengan segala macam sifat pengasihnya, kecemburuan, kedengkian, ketakutan, kepedihan, dan keriangannya. Jenis puisi lain yang termasuk dalam puisi naratif adalah poetic tale, yaitu puisi yang berisi dongeng-dongeng rakyat.
c.Puisi lirik, yakni puisi yang berisi luapan batin individual penyairnya dengan segala macam endapan pengalaman, sikap, maupun suasana batin yang melingkupinya. Jenis puisi lirik umumnya paling banyak terdapat dalam khazanah sastra modern di Indonesia. Misalnya, dalam puisi-puisi Chairil Anwar, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.
d.Puisi dramatik, yakni salah satu jenis puisi yang secara objektif menggambarkan perilaku seseorang, baik lewat lakuan, dialog, maupun monolog sehingga mengandung suatu gambaran kisah tertentu. Dalam puisi dramatik dapat saja penyair berkisah tentang dirinya atau orang lain yang diwakilinya lewat monolog.
e.Puisi didaktik, yakni puisi yang mengandung nilai-nilai kependidikan yang umumnya ditampilkan secara eksplisit.
f.Puisi satirik, yaitu puisi yang mengandung sindiran atau kritik tentang kepincangan atau ketidakberesan kehidupan suatu kelompok maupun suatu masyarakat.
g.Romance, yakni puisi yang berisi luapan rasa cinta seseorang terhadap sang kekasih.
h.Elegi, yakni puisi ratapan yang mengungkapkan rasa pedih dan kedukaan seseorang.
i.Ode, yakni puisi yang berisi pujian terhadap seseorang yang memiliki jasa ataupun sikap kepahlawanan.
j.Hymne, yakni puisi yang berisi pujian kepada Tuhan maupun ungkapan rasa cinta terhadap bangsa dan tanah air.
2.Bait dalam Puisi
Bait merupakan satuan yang lebih besar dari baris yang ada dalam puisi. Bait merujuk pada kesatuan larik yang berada dalam rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran, terpisah dari kelompok larik (bait) lainnya. Dalam puisi, keberadaan bait sebagai kumpulan larik tidaklah mutlak. Perhatikanlah puisi "Isa" karya Chairil Anwar berikut.

Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?

Puisi Chairil Anwar tersebut terdiri atas enam bait, tiga di antaranya merupakan bait yang hanya terdiri atas satu larik puisi tersebut. Salah satunya terdapat dalam penggalan tersebut, yakni bait "mendampar tanya: aku salah?"
Peranan bait dalam puisi adalah untuk membentuk suatu kesatuan makna dalam rangka mewujudkan pokok pikiran tertentu yang berbeda dengan satuan makna dalam kelompok larik lainnya. Pada sisi lain, bait juga berperan menciptakan tipografi puisi.
Selain itu, bait juga berperanan dalam menekankan atau mementingkan suatu gagasan serta menunjukkan adanya loncatan-loncatan gagasan yang dituangkan penyairnya. Sekarang, dengan jelas Anda dapat mengetahui bahwa bait-bait dalam puisi dapat diibaratkan sebagai suatu paragraf karangan yang paragraf atau baitnya telah mengandung pokok-pokok pikiran tertentu.

3.Unsur Rima dan Irama dalam Puisi
Bacalah puisi berikut ini dengan baik.

Ke manakah pergi
mencari matahari
ketika salju turun
pohon kehilangan daun
Ke manakah jalan
mencari lindungan
ketika tubuh kuyup
dan pintu tertutup
Ke manakah lari
mencari api
ketika bara hati
padam tak berarti
Ke manakah pergi
Ke manakah pergi
selain mencuci diri

Setelah membaca puisi berjudul "Salju" karya Wing Kardjo tersebut, apakah yang pertama kali menarik perhatian Anda? Sejalan dengan telaah unsur bangun struktur, Anda tentunya mencoba mengamati contoh konkret dari apa yang disebut bangun struktur puisi. Dari sejumlah unsur struktur puisi yang telah diungkapkan, sekarang kita pusatkan perhatian pada aspek bunyi terlebih dahulu. Jika berbicara tentang masalah bunyi dalam puisi, kita harus memahami konsep tentang hal-hal berikut.
a.Rima, menyangkut pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam larik puisi maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan.
b.Irama, yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsure musikalitas, baik berupa alunan tinggi rendah, panjang-pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana, serta nuansa makna tertentu. Timbulnya irama itu, selain akibat penataan rima, juga akibat pemberian aksentuasi dan intonasi maupun tempo sewaktu melaksanakan pembacaan secara oral.
c.Ragam bunyi meliputi euphony, cacophony, dan onomatope. Rima adalah bunyi yang berselang atau berulang, baik di dalam larik puisi maupun pada akhir larik-larik puisi. Pada contoh puisi tersebut, misalnya, dapat dilihat adanya pengulangan bunyi vocal (e) seperti tampak pada larik "ke manakah pergi". Perulangan bunyi demikian disebut asonansi. 
Selain itu, juga dapat diamati adanya perulangan bunyi konsonan (n) seperti nampak pada larik "pohon kehilangan daun". Perulangan bunyi konsonan itu disebut aliterasi. Perulangan bunyi seperti contoh tersebut berlaku di antara kata-kata dalam satu larik. Rima demikian itu disebut rima dalam. 
Lebih lanjut, jika kita mengamati bait pertama puisi "Salju" tersebut, tampak juga adanya paduan bunyi antara setiap akhir larik sehingga menimbulkan pola persajakan vokal /i/ — vokal /i/ dengan konsonan /n/ — konsonan /n/ seperti tampak pada bentuk . . . pergi/. . . matahari/. . . turun/. . . daun. Rima demikian itu, yakni rima yang terdapat pada akhir larik puisi, disebut rima akhir.
Pada contoh puisi tersebut juga dapat kita jumpai adanya pengulangan kata "ketika" di antara bait-bait. Ulangan kata demikian disebut rima identik. Contoh lain misalnya, dapat diamati pada puisi berjudul "Sajak Samar" karya Abdul Hadi W.M. berikut.

Ada yang memisahkan kita, jam dinding ini
ada yang mengisahkan kita, bumi bisik-bisik ini
ada. Tapi tak ada kucium waangi kainmu sebelum
pergi tak ada. Tapi langkah gerimis bukan sendiri.

Pengulangan bunyi disebut rima sempurna jika meliputi baik pengulangan konsonan maupun vokal, seperti tampak pada bentuk "pergi" dan "sendiri", larik 3 dan 4 puisi tersebut. Adapun pengulangan bunyi disebut rima rupa jika pengulangan hanya tampak pada penulisan suatu bunyi, sedangkan pelafalannya tidak sama. Misalnya, rima antara bunyi vokal /u/ dalam bentuk "bulan" serta bunyi vokal /u/ dalam "belum", seperti tampak pada salah satu puisi Abdul Hadi W.M. berjudul "Dan Bajumu" berikut.

Pasang bajumu. Dingin akan lalu melewat
menyusup dekat semak-semak pohon kayu
Tapi bulan belum kelihatan, puncak-puncak bukit
sudah berhenti membandingkan dukamu,
sehari keluh kesah

Anda tentunya telah mengenal istilah euphony sebagai salah satu ragam bunyi yang mampu menuansakan suasana keriangan, vitalitas, maupun gerak. Bunyi euphony umumnya berupa bunyibunyi vokal. Anda sendiri dapat mengetahui bahwa kata-kata yang mengandung sesuatu yang menyenangkan umumnya mengandung bunyi vokal, seperti tampak pada kata "gembira", "bernyanyi", "berlari", dan lain-lain. Pada puisi "Salju" tersebut, Anda dapat melihat adanya kata "pergi/mencari/matahari".
Berkebalikan dengan bunyi euphony, bunyi cacophony adalah bunyi yang menuansakan suasana ketertekanan batin, kebekuan, kesepian ataupun kesedihan. Jika bunyi euphony umumnya terdapat dalam bentuk vokal, bunyi cacophony umumnya berupa bunyi-bunyi konsonan yang berada di akhir kata. Bunyi konsonan itu dapat berupa bunyi bilabial, seperti nampak pada larik-larik ketika tubuh kuyup dan pintu tertutup. 
Peranan bunyi dalam puisi meliputi hal-hal berikut:
- untuk menciptakan nilai keindahan lewat unsur musikalitas atau kemerduan;
- untuk menuansakan makna tertentu sebagai perwujudan rasa dan sikap penyairnya;
- untuk menciptakan suasana tertentu sebagai perwujudan suasana batin dan sikap penyairnya.

4.Majas dalam Puisi
Beberapa contoh majas yang ada dalam puisi adalah sebagai berikut.
a. Metafora, yakni pengungkapan yang mengandung makna secara tersirat untuk mengungkapkan acuan makna yang lain selain makna sebenarnya, misalnya, "cemara pun gugur daun" mengungkapkan makna “ketidakabadian kehidupan".
b. Metonimia, yakni pengungkapan dengan menggunakan suatu realitas tertentu, baik itu nama orang, benda, atau sesuatu yang lain untuk menampilkan makna-makna tertentu. Misalnya, "Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu". "Kuntum bunga" di situ mewakili makna tentang remaja yang sedang tumbuh untuk mencapai cita-cita hidupnya.
c. Anafora, yakni pengulangan kata atau frase pada awal dua larik puisi secara berurutan untuk penekanan atau keefektifan bahasa. Misalnya, terdapat dalam salah satu puisi Sapardi Djoko Damono berikut.

Kita tinggalkan kota ini, ketika menyeberang sungai
terasa waktu masih mengalir
di luar diri kita. Awas, jangan menoleh,
tak ada yang memerlukan kita lagi
tak ada yang memanggil kembali.

d. Oksimoron, yaitu majas yang menggunakan penggabungan kata yang sebenarnya acuan maknanya bertentangan. Misalnya, pada salah satu puisi Sapardi Djoko Damono berikut.
Begini: kita mesti berpisah. Sebab
Sudah terlampau lama bercinta

Uji Materi
1.Tulislah sebuah puisi dengan tema bebas yang sesuai dengan suasana hati Anda sekarang.
2.Jika perlu, carilah suasana baru dalam menulis puisi, misalnya di taman sekolah, taman kota, dan lain-lain. 
3.Setelah selesai, kumpulkanlah puisi tersebut kepada guru Anda. Guru Anda akan meminta secara acak salah seorang di antara Anda untuk membacakan puisi tersebut.
Rangkuman
1.Bangun struktur puisi adalah unsur pembentuk puisi yang dapat diamati secara visual. Unsur tersebut meliputi bunyi, kata, larik atau baris, bait, dan tipografi.
2.Lambang dalam puisi mungkin dapat berupa kata tugas, kata dasar, maupun kata bentukan.
3.Istilah pengimajian, yakni penataan kata yang menyebabkan makna-makna abstrak menjadi konkret dan cermat.
4.Selain pengimajian, terdapat istilah pengiasan, yakni pengimajian dengan menggunakan kata-kata kias sehingga menimbulkan makna yang lebih kongkret dan cermat.
5.Bait merupakan satuan yang lebih besar dari baris yang ada dalam puisi. Bait merujuk pada kesatuan larik yang berada dalam rangka mendukung satu kesatuan pokok pikiran, terpisah dari kelompok larik (bait) lainnya.
6.Jika berbicara tentang masalah bunyi dalam puisi, kita harus memahami konsep tentang hal-hal berikut.
a.Rima, menyangkut pengulangan bunyi yang berselang di larik puisi.
b.Irama, yakni paduan bunyi yang menimbulkan unsur musikalitas, baik berupa alunan keras-lunak, tinggi-rendah, panjang- pendek, dan kuat-lemah yang keseluruhannya mampu menumbuhkan kemerduan, kesan suasana serta nuansa makna tertentu. Timbulnya irama tersebut, selain akibat penataan rima, juga akibat pemberian aksentuasi dan intonasi maupun tempo sewaktu melaksanakan pembacaan secara oral
c.Ragam bunyi meliputi euphony, cacophony, dan onomatope.

Mengidentifikasi Unsur Sastra

 

Dalam pelajaran sebelumnya, Anda telah ditugasi untuk merekam sebuah penggalan novel atau cerpen bersama kelompok Anda. Dalam pelajaran ini, Anda akan berlatih mengidentifikasi unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra. Anda akan merinci unsur-unsur tersebut sehingga dapat memahami karya sastra yang diidentifikasi. Diharapkan, kemampuan apresiasi Anda terhadap karya sastra akan meningkat.
Saat Anda mempelajari karya sastra di Pelajaran 3B dahulu, Anda telah mengenal unsur-unsur dalam (intrinsik) yang ada pada karya sastra. Hal tersebut dapat menjadi bahan untuk Anda dalam mempelajari isi cerpen. Selain itu, ada juga unsur luar yang terdapat dalam cerita pendek. Unsur tersebut dinamakan unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik merupakan bagian luar dari karya cerpen yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan isi cerita. Namun, sebuah karya dapat mencerminkan kapan dan bagaimana situasi karya itu dibuat. Dalam hal ini, karya intrinsik berhubungan dengan kondisi pengarang, situasi sosial waktu karya dibuat, bagaimana keadaan penerbit, sampai bentuk buku cerpen atau naskah tersebut.
Bacalah penggalan novel berikut dengan baik.

Tarian Bumi 
Karya Oka Rusmini
"Jero" memang nama yang harus dipakai oleh seorang perempuan sudra yang menjadi anggota keluarga griya. Sedangkan "Kenanga" adalah nama bunga yang makin lama makin wangi. Telaga menyukai keharuman yang memancar dari kelopaknya. Wangi yang aneh.
Nama yang diberikan sesepuh griya untuk Luh Sekar memang cocok. Telaga sering berpikir sendiri, nama baru yang disandang Ibu sesuai dengan beban kehidupannya. Makin hari beban hidup perempuan itu makin bertambah saja. Masalah Ayah, masalah Nenek, juga masalah Kakek. Betapa beratnya menjadi seorang perempuan. Teramat menyakitkan!
Suatu pagi utusan dari rumah Ibu datang menga- barkan, perempuan yang melahirkannya ditemukan hanyut di sungai. Mendengar kabar itu Ibu menjerit-jerit. Telaga masih ingat ekspresi yang penuh luka itu. Begitu juga maki-makian dari Nenek.
Kata Nenek, tidak pantas Ibu berlaku seperti itu. Seorang perempuan bangsawan harus bisa mengontrol emosi. Harus menunjukkan kewibawaan. Ketenangan. Dengan menunjukkan hal-hal itu berarti Ibu sudah bisa menghargai suaminya. Telaga tidak pernah paham, berapa aturan lagi yang harus dipelajari Ibu agar diterima sebagai bangsawan sejati. Hampir dua puluh tahun tidak habis-habisnya!
Aturan itu malah menjadi-jadi. Luh Sekar tidak boleh menyentuh mayat ibunya sendiri. Dia juga tidak boleh memandikan dan menyembah tubuh kaku itu. Sebagai keluarga griya, Luh Sekar duduk di tempat yang tinggi sehingga bisa menyaksikan jalannya upacara dengan lengkap. Telaga tahu hati Ibu berdarah, bernanah. Dan makin hari bau busuknya makin terasa. Telaga merasakan luka itu
Inikah artinya menjadi perempuan? Telaga ingin bicara dengan perempuan tua yang melahirkan Ayah. Bicara dari hati ke hati. Bicara tentang makna keperempuanan, hakikatnya. Dan Telaga ingin perempuan tua yang terlihat agung dan berwibawa itu mampu memberi jawaban jelas. Apa arti menjadi perempuan brahmana. Seperti apa impiannya pada cucu satu-satunya ini? Ingin sekali Telaga mendengar jawaban-jawaban itu muncul dan wajah penuh wibawa itu.
Bagi Nenek, wibawa harus terus dijaga agar orang di luar griya mau menghargainya. Kenyataannya? Memang Nenek bisa mengatur keluarga. Bahkan Ida Bagus Tugur suaminya takkan berkutik hanya dengan batuk kecil. Anehnya, Nenek hanya pandai membaca kesalahan-kesalahan yang dibuat suaminya. Tapi dia tidak lihai membaca kesalahan anak kesayangannya, anak lelaki satu satunya yang teramat dia kagumi dan terlalu sering membuat masalah itu: Ayah.
Lelaki tua yang dipanggil "kakek" oleh Telaga tidak lebih dari pelengkap. Telaga sangat membenci laki-laki itu. Lelaki tua itu hanya bisa diam. Teramat pasif. Tidak pernah ada bantahan apa pun dari bibirnya yang membiru karena seringnya bersentuhan dengan asap rokok.
***
Saat Telaga makin dewasa, terlebih setelah menjalani upacara Menek Kelih, sebuah upacara pem- baptisan lahirnya seorang gadis baru.Telaga harus melepaskan kulit kanak-kanaknya. Kulit yang sangat dia cintai.
Masa-masa itu adalah permainan yang paling menarik karena Telaga bebas dan bisa melakukan apa saja yang diinginkan. Sebuah tikungan terindah yang tidak akan pernah bisa dijangkau lagi. Tikungan tempat Telaga bersembunyi dan tidak pernah merasa bersalah, sekalipun telah membuat kenakalan yang membuat nenek dan ibunya tidak bisa menemukan kata-kata untuk memaki.
Dunia itu juga telah memberi Telaga kekuasaan yang besar. "Anak perempuan tidak boleh duduk sembarangan," kata neneknya, seraya memukul paha Telaga. "Dia masih kanak-kanak. Kau jangan menambah bebannya." Suara Kakek Telaga terdengar tegas. Lalu, seperti biasa, perempuan dan laki-laki tua itu akan bergumam sendiri saling menyalahkan. Pada saat itu Telaga merasa senang, bebas melakukan apa pun yang dia mau. Naik pohon mangga, bermain sepuasnya. Kadang-kadang Telaga juga mau disuruh berkelahi melawan anak laki-laki. Sayang, masa itu tidak bisa dipinjam Telaga lama-lama, Telaga harus mengakhiri dan mengembalikan masa itu pada hidup. Rasanya tidak ikhlas! Sering Telaga berpikir bagaimana caranya Sang yang hidup bisa dibohongi. Ingin rasanya mencuri masa kanak-kanak itu.
Sayang sekali Sang Hyang Hidup sangat berkuasa. Dia juga tidak bisa dirayu atau pun diajak berkolusi. Aturan-aturan yang ditetapkan-Nya sangat kaku. Tidak bisa dibelokkan atau dimiringkan sedikit saja. Sekarang, Telaga harus memasuki masa yang paling menyulitkan. Masa yang selalu memiliki pertanyaan-pertanyaan yang begitu beragam tentang hubungan laki-laki dan perempuan. Objek pertama yang membuatnya sering berpikir adalah Ida Bagus Tugur, laki-laki yang selalu mendongengkan kesetiaan dan rasa hormat Kunti pada keluarga dan suami. Mata tuanya terlihat me ngambang, kosong, dan seolah menyeret Telaga untuk memahaminya. Mata itu juga sering terlihat sangat kering dan memohon pada Telaga untuk disirami. Kehidupan apa ini? Orang-orang dalam rumah kami hanya membuat Telaga seperti buku kosong yang ditulisi dengan paksa dan terburu-buru. Telaga harus memberikan halaman-halaman kosong dalam jiwanya untuk ditulisi oleh sesuatu yang tidak diinginkan. "Kau sekarang sudah dewasa, Tugeg! Tugeg harus dengar kata-kata Meme". Suatu hari Jero Kenanga masuk ke kamar Telaga. Pandangan mata perempuan Tidak biasanya Kenanga datang ke kamar anaknya begitu formal. Apa ini yang dinamakan wilayah kedewasaan, wilayah perempuan sesungguhnya? Meme mau bicara apa?".
"Banyak. Tugeg punya waktu mendengarkan?" Telaga diam. Dipandangnya mata perempuan 
kedua di rumah ini setelah neneknya, perempuan tua yang selalu mengajari Telaga untuk bersikap sebagai perempuan yang dewasa.
"Kau adalah harapan Meme, Tugeg. Kelak, kau harus menikah dengan laki-laki yang memakai nama depan lda Bagus. Kau harus tanam dalam-dalam pesanku ini Sekarang kau bukan anak kecil lagi. Kau tidak bisa bermain bola lagi. Kau harus mulai belajar menjadi perempuan keturunan brahmana. Menghafal beragam sesaji, juga harus tahu bagaimana mengukir janur untuk upacara. Pegang kata kataku ini, Tugeg. Kau mengerti?" Suara perempuan itu lebih mirip paksaan daripada sebuah nasehat.
Telaga sangat membenci proses yang terjadi dalam tubuhnya, Dia sering bertanya, kenapa mesti dewasa? Kenapa mesti diupacarai dan mengundang seluruh keluarga untuk menyaksikan bahwa seorang perempuan baru telah lahir! Perempuan? Bagaimana rasanya mengenakan jubah baru itu? Apakah nasib Telaga akan seperti Nenek? Ataukah seperti Ibu?
Telaga menarik napas. Menyembunyikan nasihat neneknya dalam-dalam. Pelan-pelan Telaga mengangkat wajah. "Pasti ada yang ingin Meme sampaikan." "Ya." Telaga duduk mendekat. Dipandangnya wajah cantik yang ada di depannya. "Kau sudah menjadi perempuan yang sesungguhnya, sekarang." "Ya. Tuniang juga katakan itu."
"Apa dk memberimu nasehat?" Suara Ibu lebih mirip penyelidikan. Telaga diam. Tidak ingin mengatakan apa-apa. Sejak kecil Telaga paham, dua orang perempuan dalam rumah ini selalu ribut. Yang satu selalu merasa berkuasa dibanding yang lain, satunya lagi hanya terdiam. Tetapi bagi Telaga kedua perempuan itu memiliki kebaikan yang berbeda dalam pembentukan Telaga sebagai perempuan.
"Tidak. Kenapa?" Telaga berkata santai sambil memandang wajah ibunya dalam-dalam. Jero Kenanga jadi tidak enak hati ditatap anak kandungnya seperti itu. Perempuan itu menarik napas.
Sumber: Novel Tarian Bumi, 2005

Dari penggalan novel yang Anda baca tersebut, Anda dapat menganalisis unsur intrinsiknya. 
1.Tokoh
Salah satu tokoh yang ada dalam novel Tarian Bumi tersebut adalah Telaga. Ia bertindak sebagai tokoh utama. Adapun tokoh tambahannya adalah Ibu Telaga dan neneknya. 
2.Tema
Tema utama yang ada pada novel tersebut menyangkut pola pemikiran seorang wanita dalam menghadapi budaya di sekitarnya. Adapun budaya tersebut lebih banyak merugikan kaum wanita.
3.Alur
Jalan cerita yang ada dalam penggalan novel termasuk jalan cerita yang bergerak maju. Adapun jika Anda ingin lebih mengetahui jalan cerita secara utuh, Anda dapat membaca novel karya Oka Rusmini tersebut secara lengkap. Hal ini akan membuat Anda memiliki pemahaman lain atas isi secara utuh dari novel tersebut.
4.Latar
Kita dapat mengamati latar dengan adanya penamaan tokoh dan juga budayanya. Jadi, latar tempat yang ada dalam penggalan novel adalah kaum masyarakat Bali. Adapun latar sosial yang ada dalam penggalan novel tersebut adalah hubungan budaya masyarakat dengan kehidupan kaum wanita secara tidak langsung. 
5.Penokohan/Karakter
Dalam novel tersebut, kita dapat mengamati karakter setiap tokoh. Sebagai tokoh utama, Telaga memercikkan sebuah pemberontakan atas keadaan di sekelilingnya. Ia mengalami konflik batin untuk keluar dari kungkungan adat yang ada di sekitarnya. Hal ini ditunjukkan dengan penggalan berikut.
Kehidupan apa ini? Orang-orang dalam rumah ini hanya mem- buat Telaga seperti buku kosong yang ditulisi dengan paksa dan terburu-buru. Telaga harus memberikan halaman-halaman kosong dalam jiwanya untuk ditulisi oleh sesuatu yang tidak diinginkan.Lain halnya dengan tokoh Nenek Telaga yang kuat memegang adat dan menjadikan perempuan harus tunduk pada takdirnya. Ia menganggap Telaga harus mengikuti keinginan dan segala aturan yang dibuatnya.
Sekarang, kerjakanlah latihan berikut ini.
1.Perdengarkanlah isi rekaman penggalan novel yang telah dilakukan pada akhir Pelajaran 3B.
2.Lakukanlah kegiatan tersebut secara bergiliran antarkelompok.
3.Sementara kelompok lain memperdengarkan hasil rekaman novelnya, kelompok lain mencatat hal-hal yang berhubungan dengan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel yang diperdengarkan tersebut.
4.Kemukakanlah hasil analisis unsur intrinsik dan ekstrinsik kelompok Anda terhadap salah satu karya novel yang diperdengarkan

Mengemukakan Hal Menarik dalam Cerpen

 

Dalam pelajaran ini Anda akan berlatih mengemukakan hal-hal menarik dan mengesankan dalam cerita pendek. Sebelumnya, Anda harus membaca cerpen terlebih dahulu dengan saksama. Dengan demikian, diharapkan kemampuan apresiasi Anda terhadap karya sastra pun akan bertambah.
Cerpen sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun di dalamnya, yakni oleh unsur intrinsik dan ekstrinsik. Cerpen memiliki unsur peristiwa, alur, tema, tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain. Karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus "kurang penting" yang lebih bersifat memperpanjang cerita. 
Cerpen sebagai karya sastra prosa memiliki unsur-unsur dalam (intrinsik) yang membangunnya. Hal yang pelu diperhatikan adalah unsur-unsur tersebut membentuk kesatuan yang utuh. Dalam hal ini, satu unsur akan mempengaruhi unsur lainnya. Cerpen dapat dibedakan antara cerpen hiburan dan cerpen serius. Dalam istilah kita dibedakan antara cerpen sastra dan cerpen hiburan. Perbedaan kedua jenis cerpen ini adalah pada kualitas isi cerpen. Banyak sebagian cerpenis yang menghasilkan baik cerpen hiburan maupun sastra dengan cara yang tidak jauh berbeda. Contoh cerpenis yang ahli dalam membuat cerpen hiburan maupun cerpen sastra adalah Mottinggo Busye, Ahmad Tohari, Jajak M.D., dan Asbari Nurpatria Krisna. 
Bacalah cerpen berikut dengan cermat.
Shalawat Badar
Karya Ahmad Tohari
Bus yang aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun, dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan kipas koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk.
Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal bus menjadi pasar yang sangat hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan sopir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bisa mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian, mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau berbelanja. Seorang di antara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang.adalah manusia-manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit.
Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang dan bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah.
Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisikitu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di belakangku itu.
Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Tangannya menadahkan mangkuk kecil. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengarkan baik-baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar sendiri ada lelaki membaca Shalawat Badar untuk mengemis.
Kukira pengemis itu sering mendatangi pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup baik dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan tangan. Ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di depanku. Mungkin karena shalawat itu, maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Ada banyak hal dapat dibaca pada wajah si pengemis itu.
Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan Shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada berbekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bisa menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya, aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu.
Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berteriak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin disel yang meraung-raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang. Mereka bertengkar melalui kata-kata yang tak sedap didengar. Dan bus terus melaju meninggalkan terminal Cirebon.
Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tetapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jongkok dekat pintu belakang. "He, siral kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?” 
Pengemis itu diam saja. "Turun!" "Sira beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?" 
"Tadi siapa suruh kamu naik?"
"Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya cuma mau ngemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh."
Kondektur kehabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa. sedikit lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya kembali bergumam: "... shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah...."
Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bisa membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya,mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutumpangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bisa menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan. 
Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar guntur meledak dengan suara dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa di antaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun aku tersandung batu dan jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lobang hidungku. Ketika kuraba, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada malapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tak keruan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali ke arah kota Cirebon.
Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang ke arah timur itu: "Shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah.. .
Sumber: Kumpulan cerpen Senyum Karyamin, 1989
Setelah membaca cerpen tersebut, apakah Anda menemukan hal menarik untuk ditanggapi? Anda dapat menanggapi dari sudut tokoh, tema, ataupun amanat di dalamnya. 
Salah satu hal yang menarik dari sebuah cerpen adalah hadirnya alur. Ketegangan saat mengikuti sebuah cerita memang menyenangkan dan menjadi hiburan tersendiri. Terkadang, cerita hiburan bertumpu pada plotnya dan kurang menggarap tema. Inti dari munculnya permasalahan adalah berbenturannya watak-watak tokoh. Para tokoh masing-masing memiliki sikap dan sifat sendiri. Ketegangan dalam cerpen akan menjadi daya tarik sendiri dalam sebuah cerpen. 
Alur cerita dalam cerpen "Shalawat Badar" karya Ahmad Tohari menggunakan teknik alur cerita yang konvensional. Dalam hal ini, konfilik berawal dari pengenalan sang tokoh "aku" tentang keadaan bus yang ia tumpangi di sebuah terminal. Kemudian, timbul konflik batin tokoh "aku" tentang keadaannya. Hal ini digambarkan dengan kondisi bus yang berisi penumpang dan para pedagang asongan. Permasalahan yang ada dalam diri si tokoh "aku" semakin memuncak manakala datang seorang pengemis yang menjadikan shalawat yang sakral sebagai media untuk mencari nafkah dari belas kasihan para penumpang.
Permasalahan semakin memuncak (klimaks) saat sopir dan kondektur bertengkar. Selain itu, konflik muncul lagi saat kondektur bus bertengkar dengan si pengemis tadi. Puncaknya adalah saat bus tersebut bertabrakan dengan sebuah truk. Pada bagian akhir, dikisahkan bahwa si pengemis yang selalu mengumandangkan shalawat selamat dari kecelakaan dan tidak terluka sedikit pun. Pada akhir cerita, pembaca disuguhi persepsi masing-masing terhadap keadaan akhir tiap tokoh. Peredaan persepsi tersebut muncul akibat adanya perbedaan pola pikir dan sudut pandang (subjektivitas) pembaca.
Sekarang, kerjakanlah latihan berikut berdasarkan cerpen Shalawat Badar tersebut.
1.Bacalah kembali dan kemukakanlah tanggapan Anda terhadap isi cerpen tersebut.
2.Mintalah pendapat teman Anda mengenai isi tanggapan yang Anda kemukakan.
3.Lakukanlah diskusi kelas terhadap isi cerpen tersebut. Anda dapat mengambil acuan dari pertanyaan-pertanyaan berikut.
a. Bagaimanakah tema yang diangkat dari isi cerpen tersebut?
b. Apakah latar tempat dan latar sosial mempengaruhi watak sang pengemis?
c. Menurut Anda, gejolak batin apa yang menyebabkan sang tokoh "aku" begit tersiksa dengan keadaan yang dihadapinya di dalam bus?
d. Bagaimanakah tanggapan Anda terhadap alur cerita dari awal sampai akhir?

Info sastra
Dalam catatan sejarah kesusastraan Indonesia, cerpen merupakan genre (jenis) sastra yang usianya lebih muda dibandingkan dengan puisi dan novel. Tonggak terpenting sejarah penulisan cerpen di Indonesia dimulai oleh cerita-cerita M. Kasim (bersama Suman Hs.) pada awal 1910-an. Mereka memperkenalkan bentuk tulisan berupa cerita-cerita yang pendek dan lucu.
Sejak saat itulah, di Indonesia mulai dikenal bentuk penulisan cerita pendek (cerpen). Pada tahun-tahun 1930-an kegairahan penulisan cerpen semakin marak dengan didukung oleh terbitnya dua majalah penting pada waktu itu, yakni Pedoman Masjarakat dan Poedjangga Baroe. Tema-tema cerita yang ditampilkan mulai beragam, tidak hanya seputar cerita-cerita yang "ringan dan lucu". Pada zaman ini digarap juga tema-tema tentang kemanusiaan, pergerakan  ke arah kebangsaan, dan tema-tema revolusi.

Menganalisis Unsur Intrinsik Cerpen

Dalam bab ini Anda akan berlatih menganalisis unsur intrinsik cerpen lalu mengubungkannya dengan realitas sosial. Anda dapat menemukannya dalam cerpen-cerpen bertema sosial. Dengan demikian, diharapkan kemampuan Anda dalam memahami cerpen akan bertambah.
Upaya memahami karya sastra dapat dilakukan dengan menganalisis unsur-unsur dalam (intrinsik). Unsur-unsur dalam sebuah karya sastra memiliki keterkaitan satu dengan lainnya. Berikut ini unsur-unsur intrinsik yang ada dalam karya sastra.
1.Tema
Tema dapat kita peroleh setelah kita membaca secara menyeluruh (close reading) isi cerita.Tema yang diangkat biasanya sesuai dengan amanat/pesan yang hendak disampaikan oleh pengarangnya. Tema menyangkut ide cerita. Tema menyangkut keseluruhan isi cerita yang tersirat dalam cerpen. Tema dalam cerpen dapat mengangkat masalah persahabatan, cinta kasih, permusuhan, dan lain-lain. Hal yang pokok adalah tema berhubungan dengan sikap dan pengamatan pengarang terhadap ke-hidupan. Pengarang menyatakan idenya dalam unsur keseluruhan cerita. 
2.Jalan Cerita dan Alur
Alur tersembunyi di balik jalan cerita. Alur merupakan bagian rangkaian perjalanan cerita yang tidak tampak. Jalan cerita dikuatkan dengan hadirnya alur. Sehubungan dengan naik turunnya jalan cerita karena adanya sebab akibat, dapat dikatakan pula alur dan jalan cerita dapat lahir karena adanya konflik. Konflik tidak harus selalu berisikan pertentangan antara orang per orang. Konflik dapat hadir dalam diri sang tokoh dengan dirinya maupun dengan lingkungan di sekitarnya. 
Hal yang menggerakkan kejadian cerita adalah plot. Suatu kejadian baru dapat disebut cerita kalau di dalamnya ada perkembangan kejadian. Dan suatu kejadian berkembang kalau ada yang menyebabkan terjadinya perkembangan konflik. 
Adapun kehadiran konlik harus ada sebabnya. Secara sederhana, konflik lahir dari mulai pengenalan hingga penyelesaian konflik. Untuk lebih jelasnya, urutan tingkatan konflik adalah sebagai berikut. 
Pengenalan konflik > Timbul permasalahan > Permasalahan memuncak > Permasalahan mereda > Penyelesaian masalah.
3.Tokoh dan Perwatakan
Cara tokoh dalam menghadapi masalah maupun kejadian tentunya berbeda-beda. Hal ini disebabkan perbedaan latar belakang (pengalaman hidup) mereka. Dengan menggambarkan secara khusus bagaimana suasana hati tokoh, kita lebih banyak diberi tahu latar be-lakang kepribadiannya. Penulis yang berhasil menghidupkan watak tokoh-tokoh ceritanya berarti berhasil pula dalam menghidupkan tokoh. Dalam perwatakan tokoh dapat diamati dari hal-hal berikut:
a. apa yang diperbuat oleh para tokoh;
b. melalui ucapan-ucapan tokoh;
c. melalui penggambaran fisik tokoh;
d. melalui pikiran-pikirannya;
e. melalui penerangan langsung. 
4. Latar(Setting)
Latar (setting) merupakan salah satu bagian cerpen yang dianggap penting sebagai penggerak cerita. Setting mempengaruhi unsur lain, se-misal tema atau penokohan. Setting tidak hanya menyangkut lokasi di mana para pelaku cerita terlibat dalam sebuah kejadian. 
Adapun penggolongan setting dapat dikelompokkan dalam setting tempat, setting waktu, dan setting sosial.
5.Sudut Pandang (Point of View)
Point of view berhubungan dengan siapakah yang menceritakan kisah dalam cerpen? Cara yang dipilih oleh pengarang akan menentukan sekali gaya dan corak cerita. Hal ini dikarenakan watak dan pribadi si pencerita (pengarang) akan banyak menentukan cerita yang dituturkan pada pembaca. 
Adapun sudut pandang pengarang sendiri empat macam, yakni sebagai berikut.
a.Objective point of view
Dalam teknik ini, pengarang hanya menceritakan apa yang terjadi, seperti Anda melihat film dalam televisi. Para tokoh hadir dengan karakter masing-masing. Pengarang sama sekali tidak mau masuk ke dalam pikiran para pelaku. 
b.Omniscient point of view
Dalam teknik ini, pengarang bertindak sebagai pencipta segalanya. Ia tahu segalanya. Ia bisa menciptakan apa saja yang ia perlukan untuk melengkapi ceritanya sehingga mencapai efek yang diinginkannya. 
c.Point of view orang pertama
Teknik ini lebih populer dikenal di Indonesia. Teknik ini dikenal pula dengan teknik sudut pandang "aku". Hal ini sama halnya seperti seseorang mengajak berbicara pada orang lain.
d.Point of view orang ketiga
Teknik ini biasa digunakan dalam penuturan pengalaman seseorang sebagai pihak ketiga. Jadi, pengarang hanya "menitipkan" pemikirannya dalam tokoh orang ketiga. Orang ketiga ("dia") dapat juga menggunakan nama orang. 
6.Gaya
Gaya menyangkut cara khas pengarang dalam mengungkapkan ekspresi berceritanya dalam cerpen yang ia tulis. Gaya tersebut me-nyangkut bagaimana seorang pengarang memilih tema, persoalan, meninjau persoalan, dan menceritakannya dalam sebuah cerpen. 
7.Amanat
Amanat adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari cerita yang dibaca. Dalam hal ini, pengarang "menitipkan" nilai-nilai kehidupan yang dapat diambil dari cerpen yang dibaca. Amanat menyangkut bagaimana sang pembaca memahami dan meresapi cerpen yang ia baca. Setiap pembaca akan merasakan nilai-nilai yang berbeda dari cerpen yang dibacanya. Hal lain yang termasuk unsur sastra adalah unsur ekstrinsik. Unsur ini berada di luar karya sastra itu sendiri. Misalnya, nama penerbit, tempat lahir pengarang, harga buku, hingga keadaan di sekitar saat karya sastra tersebut ditulis.